Selain masalah pertumbuhan penduduk, tantangan serius juga ditemui terkait penyediaan dan pemenuhan pangan dari hulu maupun hilir. Pertama, di sisi hulu, lahan terdegradasi terutama akibat model praktik pertanian revolusi hijau yang menekan produktivitas dengan pestisida dan pupuk kimia sintesis. Selain itu, menipisnya pasokan air akibat berbagai sebab dan pencemaran aktivitas industri limbah berbahaya dan beracun. Kedua, perebutan lahan produktif untuk pangan dan untuk bioenergi, dan untuk keperluan industri maupun perumahan.Konversi lahan pertanian terjadi disebabkan adanya persaingan dalam pemanfaatan lahan antara sektor pertanian dan sektor non pertanian akibat adanya tiga fenomena ekonomi dan sosial, yaitu keterbatasan sumberdaya alam, pertumbuhan penduduk, dan pertumbuhan ekonomi (Prabowo et al., 2020).
Ketiga, penggunaan teknologi berbahan Bahan Perusak Ozon (BPO) merupakan senyawa kimia yang terdiri dari unsur karbon, hidrogen, klorin dan/atau bromin. Senyawa ini sangat stabil dan tidak mudah terurai pada lapisan atmosfer bawah (troposfer). BPO digunakan dalam beberapa jenis BPO antara lain adalah Cholofluorocarbon (CFC), Hydrochlorofluorocarbon (HCFC), Halon, Metil bromida, Karbon tetraklorida (CTC), Metil chloroform. Bahan Perusak Ozon banyak digunakan dalam peralatan pendingin seperti lemari es, pendingin ruangan (AC), pemadam kebakaran, industri busa, bahan pelarut dan proses karantina pelabuhan (DLHK Jogja, 2019). Zat-zat ini dapat membuat lapisan ozon rusak berlubang, yang seharusnya ozon berfungsi sangat baik dalam menyaring sinar ultraviolet, kini dampak lanjutannya menyebabkan penerusan sinar ultraviolet ke permukaan bumi dimana proses fontosintesis menjadi tidak sempurna. Tentu hal ini akan berimplikasi pada kegagalan dan penurunan produktivitas. Bahkan tidak hanya itu, dilansir oleh DLHK Jogja (2019) Penipisan lapisan ozon menyebabkan peningkatan radiasi sinar UV-B yang berdampak pada kerusakan sistem perlindungan alami makhluk hidup sehingga meningkatkan kerentanan ketahanan pada manusia, hewan dan tanaman. Pada manusia, paparan sinar UV-B dapat menyebabkan katarak dan menurunnya kekebalan sel-sel kulit yang dapat berujung pada kanker kulit. Hal ini dapat juga terjadi pada hewan. Radiasi sinar UV-B yang berlebihan dapat menghambat metabolisme tanaman sehingga pertumbuhan tumbuh lebih lambat dan menjadi kerdil. Dampak paparan sinar UV-B terhadap ekosistem perairan berakibat buruk pada distribusi fitoplankton yang menjadi dasar rantai makanan di perairan. Selain iu juga dapat menghambat perkembangan awal dari ikan, udang, kepiting, amfibi dan hewan lainnya, menurunkan kapasitas reproduksi dan menghambat perkembangan larva. Efek gas rumah kaca yang berlebih sebabkan pemanasan global dan perubahan iklim yang tidak menentu. Hal ini ternyata sangat mempengaruhi pada produksi dan produktivitas hasil panen. Seperti halnya saat ini, petani akan sulit memprediksi hasil panen karena cuaca yang tidak tentu, bisa jadi ditengah penanaman terjadi curah hujan tinggi sehingga membusukkan tanaman atau kekeringan berhari-hari alih-alih tanaman yang ditanam termasuk tanaman yang sangat membutuhkan air. Keduanya dapat mencapai kegagalan panen atau kerugian besar bagi petani.
Kelima, adanya pelarangan membakar lahan bagi petani. Hal ini menjadi kontradiksi bagi budaya turun temurun petani pada sistem ladang berpindah, cara memperkaya zat hara tanah dengan membakar ladang. Larangan tersebut melemahkan daya tahan pemenuhan kebutuhan pangan secara mandiri alhasil bergantung pada hasil panen/pasokan pangan diluar wilayahnya.
Keenam, adanya faktor politis seperti kebijakan impor dan introduksi sumber daya pangan global termasuk halnya introduksi benih GMO dari perusahaan multinasional. Selain menyingkirkan kearifan petani, benih yang tidak spesifik lokal memaksa degradai keanekaragaman hayati dan ekosistem. Hal ini tentu menjadi ironi dikarenakan perizinan atas dasar pemerintah Indonesia sendiri. Secara politik, kebijakan impor menjadikan wujud ketidakseriusan diversifikasi pangan lokal dengan segala potensi lokal setiap daerah.
Ketujuh, degradasi keanekaragaman hayati berpangaruh pada mata rantai produksi pangan lokal. Seperti halnya kunang-kungan kini tidak lagi mudah ditemukan. Ketiadaan kunang-kunang merupakan indikator bahwa lahan tersebut telah tercemar pestisida dimana kunang-kunang akan mati bila terpapar pestisida. Kedelapan, berbagai kebijakan terkait produksi dan penyediaan pangan telah menggerus kemampuan produsen penyedia pangan lokal khususnya yang mengandalkan kearifan dan kekuatan produktif lokal seperti petani dan nelayan. Dampaknya para produsen kehilangan posisi tawar dan menjadi tidak berdaya dan bergantung pada ekonomi, politik, dan teknologi petanian global.
Di sisi hilir, ditemukan berbagai permasalahan, seperti terkait persoalan disparitas ketersediaan dan akses yang tidak sama antara konsumen pangan dari suatu wilayah dengan wilayah lain secara nasional. Di sisi lain, ada kelompok masyarakat atau wilayah yang berlimpah pangan sehat dan berkualitas namun selalu ada yang kesulitan mendapatkan akses tersebut. Padahal pemenuhan kebutuhan pangan adalah hak atas kehidupan. Ironinya lagi, produsen utama pangan seperti petani dan nelayan bertali temali dengan kemiskinan dimana mayoritas masyakarat termiskin adalah kelompok petani dan nelayan yang sekadar hidup pada level subsisten. Kemudian adanya sampah dan limbah yang terbuang percuma akibat pengelolaan produksi, distribusi, maupun perilaku konsumen. Di Indonesia sendiri, Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) mencatat bahwa sampah sisa makanan mencapai 46,35 juta ton dalam skala nasional pada tahun 2021 (kriya dan Syahrier, 2022).Selain permasalahan hulu dan hilir, ada pula permasalahan ketersediaan air bersih untuk pertanian dan juga konsumen. Saya sendiri sependapat dengan seluruh tulisan yang disampaikan oleh Pak Sonny Keraf terutama terkait ketersediaan air bersih. Di kampung saya yang berlokasi di Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat, lahan tebing seharusnya dipenuhi oleh tanaman pohon karena fungsinya sebagai daerah tangkapan air. Sejak dikenal pertanian holtikultura, petani ikut tertarik untuk membuka lahan menjadi lahan tanam sayuran annual dan berujung tidak menyisakan pohon. Dampak besar yang saat ini kami rasakan sebagai masayarakat di Kampung Areng kini kesulitan mendapatkan air bersih bahkan penyiraman tanaman sayuran pun harus menggunakan air got yang tercemar saponin tinggi.
Efek samping penyediaan pangan berdampak buruk pada lingkungan berupa degradasi lahan, kepunahan keanekaragaman hayati, pencemaran air, perambahan hutan untuk kepentingan pertanian sebabkan terganggunya sistem hidrologi alam sehingga kurangnya tangkapan air dan punahnya sumber daya air, pencemaran dan kerusakan ekosistem dan berdampak lanjut pada berkembang biaknya berbagai penyakit menular khususnya jenis penyakit zoonosis. Pencemaran akibat penyediaan dan pemenuhan pangan global terjadi dalam seluruh rantai produksi, distribusi, dan rantai pasok pangan. Jika dirunut dari proses penyemprotan pestisida kimia yang tertinggal pada tanaman, kemudian hasil panen berlebih dan menjadi sampah, sampai pembuangan sampah yang tentu mencemari tanah, air, dan lingkungan. Padahal jelas residu bahan berbahaya dan beracun terus berpindah dan tetap mencemari. Berdasarkan data FAO, menunjukkan bahwa 31% persen dari keseluruhan produksi dan penyediaan pangan global terbuang percuma akibat busuk, susut sepanjang rantai pasok atau kadaluarsa, dan terbuang di tingkat distribusi serta konsumen akhir. Pengemasan dan pengepakan produk terlibat dalam pemcemaran lingkungan maupun kesehatan, seperti penggunaan plastik, pengawet makanan, pemakaian hormon pada ternak yang ternyata dapat berimplikasi pada hormonal konsumennya yaitu manusia sendiri. Pemanasan global dengan meningkatnya efek gas rumah kaca juga merupakan dampak dari penyediaan pangan. Beberapa sumber paparan emisi gas rumah kaca dari aktivitas produsen penyedia pangan seperti pembusukan tanaman, sampah pertanian, dan kotoran ternak di lahan pertanian yang mengemisi gas metan dan gas-gas lainnya, kemudian proses produksi pupuk dan pestisida telah menyerap energi yang sangat besar khususnya energi fosil (penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca), penggunaan mesin dan teknologi modern, alih fungsi lahan hutan dalam artian penurunan potensi penyerapan karbondioksida, sampah pangan yang menumpuk di TPA bercampur dengan sampah anorganik akan menghasilkan emisi gas rumah kaca, energi fosil di pabrik pengolahan pangan termasuk berbagai perangkat pendukung seperti freezer termasuk dalam proses pendistribusiannya dan transportasi. Selanjutnya dampak dari ketidakmertaan akses pemenuhan kebutuhan pangan sehat dan berkualitas yaitu adanya penderita gizi buruk, busung lapar. Produksi dan penyediaan pangan juga bagian dari eksistensi budaya masyarakat setempat. Dampak sosial terkait penyediaan pangan juga berakibat pada perampasan hak masyarakat setempat atas lahan-lahan produktif atau juga barang publik. Penyebabnya beragam, bisa karena pemangku kepentingan investor, industri, bahkan pemerintah. Budaya masyarakat seperti nelayan dengan laut lalu petani dengan lahan produktif, telah terjalin sebagai hubungan kultural bahkan hubungan spiritual dimana hal ini menjadi identitas dirinya. Hilangnya lahan juga larangan tak sekadar menyangkut masalah alih fungsi lahan, namun juga hilangnya identitas kultural masyarakat.
Referensi:
DLHK Jogja. 2019. Perlindungan Lapisan Ozon.
Keraf, A Sonny. 2022. Ekonomi Sirkuler Solusi Krisis Bumi. Gramedia: Jakarta
Prabowo, Rossi.,Aziz Nur Bambang., Sudarno. PERTUMBUHAN PENDUDUK DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN. MEDIAGRO, 16 (2), 26 – 36
Benihbunbun punya bibit pangan lokal, dan kamu bisa checkout langsung di website ini:
Lihat produk benihbunbun lainnya dengan cara klik tombol dibawah ini:
Layanan konsultasi
Setiap pembelian produk benihbunbun maka akan mendapatkan fasilitas konsultasi tanam menanam dengan tim ahli kami