Pangan merupakan kebutuhan pokok yang wajib dipenuhi oleh manusia. Sedari dulu, masyarakat Indonesia memiliki kultur perihal penyediaan pangan untuk diri sendiri maupun keluarga. Seperti halnya menanam singkong, sagu, rempah, pohon buah, dan tanaman lainnya di pekarangan rumah yang diajarkan turun temurun kepada anak cucu agar minimal bisa bertahan hidup dengan terpenuhinya kebutuhan pangan.
Seiring dengan berjalannya waktu, pertumbuhan penduduk yang meningkat pesat menjadi dasar masalah akan sulitnya memenuhi kebutuhan pangan nasional. Ketersediaan lahan tanam menjadi sebab lanjutan ditinggalnya budaya menanam. Selain itu, Robert Malthus (1766-1834) telah memperkirakan bahwa pertumbuhan penduduk seakan meningkat berdasar kelipatan 1, 2, 4, dan seterusnya, sedangkan penyediaan pangan terjadi secara lambat dengan pola 1, 2, 3, 4, dan seterusnya. Perkiraannya ini dapat diatasi dengan menekan laju pertumbuhan penduduk dan meningkatkan ketersediaan pangan. Hal ini menjadi dasar bagaimana Norman Bourlag meperkenalkan dengan apa yang kita kenal sebagai Revolusi Hijau di masa orde baru.
Revolusi hijau di Indonesia dimotivasi oleh kondisi kekurangan pangan yang sangat parah pada periode 1950-1959. Gerakan revolusi hijau di Indonesia dilakukan melalui program BIMAS (Bimbingan Massal) dan Panca Usaha Tani yang mendorong petani untuk menggunakan bibit unggul, pemupukan kimia sintesis, pemberantasan hama dan penyakit, pengairan, dan perbaikan bercocok tanam (Greenaration, 2021). Revolusi hijau dengan kerja keras rakyat Indonesia, khususnya petani, pada tahun 1984 membawa Indonesia mencapai swasembada beras untuk negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia. Hal ini telah menjadikan Indonesia mendapat penghargaan PBB dengan produksi beras meningkat 289& atau mencapai hampir 4x peningkatan dalam kurun waktu 30 tahun (Hernawan dan Pujo, 2021).
Jebakan revolusi hijau telah mempengaruhi sosial budaya petani. Kearifan dan budaya menanam yang diajarkan oleh nenek moyang sesuai dengan kondisi geografis, agroklimat pada daerahnya masing-masing, beralih ke model produksi pangan Revolusi HIjau. Jenis padi lokal yang biasanya tinggi, telah melibatkan petani perempuan dalam penggunaan ani-ani, sejak introduksi bibit padi unggul yang tumbuh pendek, kini kian memarginalkan petani perempuan, pun sekaligus hilang kearfan lokal. Introduksi pestisida kimia yang dapat membahayakan kesehatan bagi petani yang menggunakan juga bagi masyarakat yang mengkonsumsi, sampai pada akhirnya secara ekonomi menjadi sulit diperhitungkan akibat penawaran berlebih yang dapat menjatuhkan harga namun kebutuhan biaya pengeluaran untuk pestisida dan pupuk sintesis tetap sama. Dampak revolusi hijau sendiri adalah kesuksesan yang disertai oleh berbagai masalah. Seperti halnya revolusi hijau dengan program BIMAS lebih menekankan pada upaya meningkatkan produksi beras dan mengesampingkan martabat petani. Masalah pencemaran yang ditemui adanya eksploitasi hama, hasirnya hama yang kebal dengan pestisida, hilangnya varietas unggul padi lokal, pendangkalan danau oleh gulma air yang semakin subur akibat pemusnahan hara sawah, degradasi lahan sawah, petani keracunan akibat pestisida, dan lainnya (Hernawan dan Pujo, 2021).Tanpa disadari, dampak lanjutan dari revolusi hijau hingga kini yaitu adanya ketergantungan pada obat-obatan kimia bagi tanaman budidaya para petani. Secara terstruktur telah memperkaya industri kimiawi. Keadaan ini masih diperparah dengan penyediaan benih tanaman yang dikuasai oleh perusahaan kapitalistik transnasional dengan dalih benih yang disediakan dapat meningkatkan produktivitas. Padahal, benih tersebut lagi-lagi bergantung dengan pupuk kimia sintesis juga pestisidanya, dan akan berdampak pada ekosistem setempat yang memungkinkan terjadi introduksi hama baru atau bahkan menghilangkan satu jenis hama namun memasifkan hama-hama lainnya. Secara budaya, kebiasaan petani dalam pembenihan lokal untuk pangan lokal, kembali ditinggalkan.
Referensi:
Greenaration. 2021. Sejarah Revolusi Hijau dan Dampaknya Hingga Saat Ini.
Hernawan, Endang dan Pujo Hutomo. 2021. Rekayasa Sosial dalam Pengelolaan Sumber Daya Hayati. IPB Press: Bogor
Keraf, A Sonny. 2022. Ekonomi Sirkuler Solusi Krisis Bumi. Gramedia: Jakarta
Benihbunbun punya bibit pangan lokal, dan kamu bisa checkout langsung di website ini:
Lihat produk benihbunbun lainnya dengan cara klik tombol dibawah ini:
Layanan konsultasi
Setiap pembelian produk benihbunbun maka akan mendapatkan fasilitas konsultasi tanam menanam dengan tim ahli kami